Oleh : Septi Herowati
“Dear diary…
Entah kenapa setiap aku pulang dari tempat itu, terasa ada sesal yang
mendalam, rasa sesak didada karena amarah yang tertahan, seakan-akan Tuhan
telah menyiapkan neraka untuk ku.
Padahal ayah pernah berkata bahwa aku dilahirkan dari agama yang
dianggap suci dalam pangkuannya,maka jika aku taat terhadap ajaranya, aku akan
selalu bahagia menjalani hidup. Tapi kenapa setelah aku mengenal sedikit
tentang islam, aku merasa ajaran agama yang selama ini aku jalani hanya membuat
sesal dihati ,dan Islam lah agama yang lurus dan suci. Karena akupun telah
mengetahui, hanya Allah – lah Tuhan semesta alam, dan ku fikir agama Islam pula
yang akan menjadi jalan terbaik menuju surga, kelak.
Ya Allah…bolehkah aku selalu menyebut dan mengingat namaMu,
serta memeluk agama RasullMu ???
Sementara aku masih ragu karena orang tuaku begitu membenci islam dan aku
juga ingin selalu menghormati orang tua dan keluargaku yang begitu patuh dengan
agama yang telah mereka pilih sebagai jalan hidup. “
Cukup
pada satu lembar Diary aku curahkan isi hatiku. Usai menulis,aku buka kembali
koleksi buku- buku milik ku yang ku simpan dilemari.
Buku kecil dengan ketebalan 310 lembar berjudul “Apa itu Islam” itulah buku
yang pertama ku ambil dan ku baca.
Hingga dua jam sudah mataku focus dengan buku. Kini Ingin rasanya aku
merebahkan tubuh diatas tempat tidur dan memejamkan mata sejenak. Namun
belum lama rasanya mataku terpejam,tiba-tiba….
“Brraakk….”
Aku tersentak dan langsung membuka mata setelah mendengar suara itu.
“Randy..bangun kamu !! Ternyata kamu berani menghianati ayah, bukankah
kamu tahu bahwa ayah sangat membenci islam ??. Bentak ayah kepadaku.
Mataku terbelalak melihat ayah dan kakak ku telah berada di dalam kamar.
“Astaga..aku lupa buku tentang Islam itu belum aku masukan lagi kedalam
lemari”. Gerutuku dalam hati.
Aku terus menatap cambuk besar yang berada di tangan kak Dani,tanpa
menghiraukan omongan ayahku. Dalam hati aku tahu ayah sangat marah karena aku
telah mempelajari agama Islam.
“Khianat kamu Ran, telah mencoba mendekati agama yang aku benci. Maka
cambuk ini akan menjadi hukuman untukmu”. seru Kak Dani.
Tak bisa kubayangkan jika cambuk itu mengenai tubuhku, dan buku itu dibakar
oleh ayah didepan mataku. Maka sebelum itu terjadi, aku segera melompat jendela
kamarku dan terus berlari sejauh mungkin hingga desa tempat tinggalku lenyap
dari pandanganku.
Mataku tiba-tiba aku tertuju pada tempat dimana aku sering melihat
orang-orang islam berkumpul. Entah apa nama tempat itu, aku belum tahu,namun
aku yakin disanalah aku akan diberi petunjuk.
Dari
jarak 10 meter aku berdiri, tempat itu terlihat sangat megah dan indah. “Pondok
pesantren Al-Khikmah”. Itulah tulisan yang pertama aku lihat, dan mungkin itu
juga nama tempat yang aku maksud.
Tiba-tiba beberapa orang dari tempat itu berjalan menghampiriku.
“Siapa kamu nak ? kenapa kamu berada disini dan terlihat sangat lelah?”.
tanya salah seorang dengan lembut.
Tak satu katapun yang dapat ku ucap, namun dalam hati ini aku merasakan kedamaian
yang sesungguhnya bisa berada diantara orang-orang islam. Sungguh mulia hati
mereka, dengan orang yang belum dikenal sekalipun mereka mau peduli.
Melihat wajah mereka yang berharap jawaban dariku, akupun menceritakan
kejadian yang telah aku alami. Sebelumnya aku takut mereka akan mengusirku,
setelah mengetahui aku bukan orang islam. Tapi ternyata mereka malah mengajakku
masuk ke dalam pondok dan mempersilahkan aku duduk serta mereka memperkenalkan
aku kepada semua orang yang menyambutku. Rasa bahagia dan senyum manis
yang akhirnya dapat aku tanamkan pertama kali ditempat itu. Di sore itu pula
aku dapat melihat aktifitas-aktifitas orang islam. Dengan semua yang ku lihat
dan rasakan itu, hatiku benar –benar tertarik dengan Agama Islam. Malamnya pun aku
dipersilahkan menginap diPondok. Sembari aku menanti hari esok, dengan niatku
yang benar-benar ingin masuk Islam.
Malampun
berlalu, suasana pagi kembali kurasakan.Dan dengan hati yang suci dan penuh
percaya diri aku bertekad untuk masuk islam dihari itu.
“Asyhadualaillahaillallah……
Tepat pukul 04.00 W.I.B di hariJum’at, aku dituntun ulama besar pemilik
pondok itu untuk mengucapkan kalimat syahadat, dan para santri yang menjadi
saksinya. Di pagi itu pula aku mulai mengikuti shalat subuh berjamaah. Meski
dalam batin ini aku selalu mengingat Ayah,Ibu,Kak Dani dan keluargaku yang aku
tinggalkan, tapi aku yakin inilah jalan terbaik yang akan membawaku kedalam
kebahagiaan dan kedamaian sesungguhnya. Maka aku juga tidak menyeasal meniggalkan
mereka demi Islam. Dan aku yakin bahwa suatu saat nanti aku dapat mengajak
orang tua dan keluargaku untuk masuk Islam.
Lima bulan kemudian….
Aku mendengar kabar bahwa di Pondok itu akan dibangun sebuah masjid besar.
Sejurus kemudian aku ingat sisa uang yang tersimpan di tabunganku. Syukur
Alhamdulillah kartu tabunganku masih tersimpan didompet yang pada waktu aku
pergi dari rumah, dompet itu ada di saku celanaku. Tanpa pikir panjang, aku
langsung pergi ke Bank terdekat guna mengambil sisa uang itu untuk kuserahkan
kepada panitia pembangunan masjid.
Dalam perjalanan
pulang dari Bank tiba-tiba tiga orang menyergapku dan merampas uang di tasku.
Aku tak menghiraukan jumlah orang yang aku hadapi, hingga akhirnya aku
nekad melawan mereka. Tiba-tiba dari depan seorang perampok mengarahkan pisau
tajam kearah tubuhku. Aku coba menghindar namun aku merasakan ada yang lepas
dariku. Bayangan tentang kejadian ketika Kak Dani akan mencambuk ku kembali
teringat. Rasanya sakit dari cambukan itu benar-benar mengenai tubuhku, padahal
yang sedang ku alami tadi adalah melawan tiga perampok dengan pisau tajam
ditangan mereka yang akan mengenaiku. Ketika aku menengok, ternyata jasadku
telah terrgeletak di tengah jalan dengan bekas luka di dada dan darah yang
mengalir. Niat baik ku untuk menyalurkan dana guna membangun masjid dan
mengajak keluarga untuk masuk Islam, tak bisa terlaksana karena jasadku telah
dipisahkan dengan jiwaku.